Hallo sahabat semua...kali ini penulis akan mengupas tema yang lumayan berat nih ya.. Berdasarkan pengalaman penulis sendiri terkait masalah zonasi penerimaan siswa/siswi baru yang layak kita kaji ulang.
Sebelum peraturan baru terkait zonasi, kita lebih mengenal dengan istilah
NEM atau nilai ebtanas murni yang dijadikan patokan peserta didik diterima di
sekolah lanjutan. Sehingga bila NEM yang dihasilkan peserta didik tinggi maka
otomatis mereka dapat bebas memilih sekolah yang diinginkan. Maka istilah
sekolah unggulan muncul ketika peserta didik mendaftar di sekolah tersebut.
Seiiring waktu, pemerintah mulai mengkaji ulang peraturan baru dengan
maksud meningkatkan kualitas pendidikan. Maka dikenallah istilah zonasi. Namun
apakah efektif dalam pelaksanaannya? .
Sebelum kita kupas masalah zonasi. Kita ketahui dahulu apa itu zonasi. Zonasi adalah jalur yang disediakan bagi peserta didik yang berada di dalam satu lokasi yang dekat dengan sekolah selama minimal satu tahun dengan dibuktikan KTP atau kartu keluarga dan siswa tidak perlu lagi melalui ujian masuk.
Adapun tujuan sistem zonasi sekolah adalah memeratakan akses Pendidikan,
mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, menghapuskan
eksklusivitas dan diskriminasi, membantu analisis perhitungan kebutuhan guru
dan distribusinya, mendorong kreativitas guru, membantu pemerintah daerah dalam
memberikan bantuan.
Jalur sistem zonasi merupakan jalur penerimaan siswa berdasarkan zona
tempat tinggal. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Permendikbud
Nomor 44 Tahun 2019 memberlakukan jalur penerimaan ini. PPDB tahun 2020 dapat
diikuti calon siswa yang akan masuk TK, SD, SMP, serta SMA/SMK.
Penggunaan sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru merupakan salah satu jalur
untuk bisa diterima di sekolah. Penerapan sistem zonasi sebenarnya menyasar
siswa baru agar mendaftar sekolah sesuai tempat tinggal.
Aturan sistem zonasi PPDB tercantum pada Permendikbud No. 14 Tahun 2018.
Harapannya, sekolah favorit dan non-favorit tidak memiliki sekat. Tahun 2020,
kuota yang diberikan untuk jalur zonasi PPDB minimal 50 persen di setiap
sekolah.
Sistem zonasi yang diberlakukan pada tahun 2020 memiliki sejumlah perbedaan
dengan sistem zonasi PPDB 2019. Perbedaan tersebut mencakup jumlah kuota dari
jalur zonasi. Pada tahun 2019, kuota siswa untuk jalur zonasi sebesar 80 persen
dari 100 persen. Tahun 2020, kuota jalur zonasi berkurang menjadi 50 persen.
Berkurangnya kuota untuk jalur zonasi PPDB 2020 dipengaruhi pemerataan wilayah
yang belum bisa mengikuti PPDB online. Oleh karena itu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan kebijakan baru. Dampak dari pengurangan
kuota untuk sistem zonasi berimbas pada jalur lainnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menetapkan Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 masih menggunakan jalur zonasi. Ada empat jalur
dalam penerimaan PPDB, yaitu afirmasi, zonasi, perpindahan tugas orangtua/
wali, dan atau prestasi. Nadiem menyatakan, tidak semua daerah siap menjalankan
kebijakan zonasi. Karena itu Kemendikbud mengeluarkan kebijakan kompromi dari
zonasi dengan menambah kuota jalur prestasi menjadi 30 persen (sebelumnya 15
persen), dan mengurangi kuota jalur zonasi menjadi minimal 70 persen
(sebelumnya minimal 80 persen).
“Jadi bagi orang tua yang sangat semangat mendorong anaknya untuk mendapatkan
angka (nilai) yang baik, prestasi yang baik, ini menjadi kesempatan mereka
untuk mencapai sekolah yang diinginkan,” ujar Nadiem, seperti dikutip
Kemendikbud.
Namun ia menegaskan, kuota zonasi sebesar 70 persen itu tetap harus mengikuti
tiga kriteria, yaitu minimum jalur zonasi 50 persen, jalur afirmasi (pemegang
Kartu Indonesia Pintar) 15 persen, jalur perpindahan 5 persen dan 30 persen
jalur prestasi.
Namun dalam pelaksaannya apakah cukup
efektif bagi peserta didik? Apakah sistem zonasi dapat menghilangkan paradigma
sekolah unggulan? sekali lagi masih banyak masalah di lapangan yang tidak
sesuai dengan harapan. Kenyataannya karena sistem zonasi, banyak siswa pintar
atau berprestasi tidak dapat melanjutkan sekolah mereka ke sekolah yang mereka
impikan.
Sistem zonasi tidak mudah diberlakukan di
negara kita. Mengapa? karena fasilitas dan sumberdaya pengajar untuk sekolah
belum merata. Maka ketika siswa pintar memiliki rumah di pelosok desa yang
bukan wilayah zona aman tidak dapat merasakan atau berkembang potensinya karena
harus bersekolah di tempat yang dekat dengan rumahnya. Sistem zonasi harusnya
diberlakukan bila seluruh sekolah di Indonesia memiliki standar sama dalam
fasilitas, sumber daya guru dan kesempatan berkembang dalam menggali bakat
mereka.
Wacana sistem zonasi sangat bagus dalam
visi pemerataan pendidikan, namun dalam pelaksaannya masih jauh dari kata
berhasil. Perbaruhi dahulu standar mutu pendidikan sekolah yang sama di seluruh
Indonesia. Baru kita berlakukan sistem zonasi. Sehingga tidak ada kata kecewa
bagi peserta didik yang telah berusaha mendapatkan nilai terbaik mereka namun
lagi – lagi terpentok masalah zonasi.
So bagaimana sahabat ? semoga ada titik
terang Kemendikbud untuk merombak peraturan baru ya..minimal kembali lagi
dengan istilah NEM sebagai tolak ukur peserta didik memasuki jenjang
selanjutnya. Toh istilah sekolah unggulan akan sulit dipatahkan bahkan sampai
perguruan tinggi. O ya, akan saya lanjut masalah zonasi terbaru yang berlaku di
tahun 2021 ini. So ikuti terus blog ini ya....salam semangat
Sumber : Kompas,Kemendikbud, sindonews